Senin, 15 November 2010

INDIGO

Aku menatap kedua pasien kecilku di ruang rawat mereka dengan tatapan miris. Si sulung Rina yang berusia sebelas tahun, dan sang adik, Tyas, yang berusia delapan tahun. Mereka dilarikan ke rumah sakit karena pihak keluarga tidak mampu lagi mengendalikan tingkah mereka yang sering uring-uringan. Pagi itu Rina dan Tyas sedang asik bermain boneka. Saat aku mengucapkan salam, tidak seorangpun dari mereka yang mempedulikan sapaanku.“Rina sudah makan pagi ini?” tanyaku. Rina menggeleng dan kembali sibuk dengan bonekanya. Aku memberi isyarat kepada suster untuk menyediakan makanan untuk Rina. “Tyas sudah makan?” tanyaku. Tyas diam. “Kalau begitu Tyas disuntik dulu ya,” kataku sambil mengelus kepala anak itu. Tyas menggeleng keras-keras dan mulai berteriak histeris, “Nggak mau! Tyas nggak mau disuntik!”Tyas mengayunkan kedua tangannya dan memukuliku sejadi-jadinya. Aku segera meminta suster untuk memegangi Tyas dan menyiapkan cairan penenang minor. Perlahan-lahan kusuntikkan obat itu dan membiarkan tubuh Tyas terbaring di ranjang. Tiba-tiba terdengar isakan halus dari sudut ruangan. Saat aku menoleh, ternyata Rina tengah duduk memeluk kedua kakinya dan menangis.“Aku takut. Kamu pasti akan membunuhnya, kan? Dan selanjutnya kamu akan membunuhku juga, sama seperti penculik itu membunuh mama. Iya kan?” Tanya Rina sambil terisak-isak. Aku segera menyuntikkan obat di lengan Rina.“Aku tahu siapa pembunuh mama. Aku tahu mama dibunuh oleh… oleh…”Aku mengelus-elus kepala Rina dan membiarkan matanya menutup perlahan-lahan. Aku melanjutkan visitku kepada pasien yang lain. +++ “Aku tahu siapa yang membunuh mama. Aku tahu.”Kata-kata itu terus terngiang sampai aku kembali ke rumah malam itu. Entah mengapa kata-kata itu terdengar cukup meyakinkan di telingaku. Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan sedang sambil terus memikirkan kata-kata itu.Sesampainya dirumah, aku dikejutkan dengan dua orang polisi yang telah duduk bersama mamaku di ruang tamu. Tanpa basa-basi, kedua polisi itu mengemukakan tujuannya. “Kami sedang menyelidiki kasus yang ada hubungannya dengan pasien Dokter yang bernama Rina,” kata polisi itu. Aku mengangguk-angguk. “Beberapa orang tetangga pasien melaporkan sebuah kasus, bahwa ibu si pasien meninggal dengan tidak wajar.”Aku mendesah dan mendengarkan keterangan polisi lebih lanjut. Ingatanku kembali pada saat Rina dibawa ke rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia tampak begitu kurus, pucat, dan ketakutan. Beberapa orang keluarga yang mengantarknnya kuminta menunggu diluar sehingga aku dapat melakukan anamnese, tanya jawab antara dokter dan pasien, dengan tenang.“Mama saya dibunuh, Dok. Bukan meninggal karena kecelakaan,” kata Rina saat aku berusaha menenangkannya. Aku terdiam dan membiarkan anak itu bercerita lebih lanjut. “Dokter harus percaya pada saya, Dok. Anda boleh menganggap saya gila, tapi saya bersumpah atas nama Tuhan, mama saya meninggal karen dibunuh. Bukan kecelakaan,” kata Rina sebelum jarum suntik menembus lengannya. “Bagaimana, Dok. Apa Anda bersedia membantu kami?”Aku tergagap saat mendengar pertanyaan polisi itu. Aku segera mengangguk dan menjawab, “Baik, Pak. Saya akan membantu sebisa saya.” Kedua polisi itu mengucapkan terimakasih dan dengan sedikit tergesa-gesa meninggalkan rumah kemudian kembali ke tempat kerja masing-masing.Aku melepas sepatu dan menggerai rambutku kemudian masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk tidur karena telah berkali-kali menguap. “Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu Hendra!”“Apa maumu, wanita liar! Dia anakku. Aku berhak melakukan apapun tehadap anak itu!”“Tidak, Hendra. Kalau kau akan melakukannya, langkahi dulu mayatku!”“Baiklah kalau itu maumu!”“Ahhh!!!!” Aku membuka mataku dan mendapati mama telah duduk disamping tempat tidurku. Ternyata aku bermimpi. Kuraba leher dan tengkukku. Keringatku membanjir meskipun AC di kamar menunjukkan angka 18 derajat Celsius. Suhu yang cukup dingin untuk membuat manusia normal berkeringat. Keesokan paginya, aku telah berada di rumah sakit pada pukul tujuh lewat lima menit. Seorang dokter spesialis jiwa dari Jakarta akan datang berkunjung ke rumah sakit. Saat akan visit pasien, aku dikejutkan oleh Rina yang melambaikan tangannya dan memintaku mendekat.“Ada apa Sayang?” tanyaku sambil berjongkok di depannya. Rina menyibakkan rambutnya kemudian dengan penuh keyakinan dia bertanya, “Dokter sudah memimpikannya kan?”Dahiku berkerut. Dengan sedikit kebingungan aku bertanya, “Apa maksudmu?” Rina tersenyum kecil. “Itulah yang sebenarnya terjadi kepada mama, Dok,” kata Rina sambil berlalu. Aku hendak bertanya lebih jauh namun seorang suster mendatangiku dan memintaku untuk segera datang ke aula pertemuan karena tamu sudah datang. Dengan berlari kecil aku menuju ke aula itu. Saat memasukinya, kulihat seorang dokter sedang memasuki ruangan melalui pintu utama. “Selamat pagi, Rekan-rekan sekalian,” sapa dokter itu. Semua menjawab salam itu kemudian duduk di tempat duduk masing-masing. “Sebelumnya perkenalkan, saya Rizal, dokter spesialis jiwa yang saat ini sedang menyusun desertasi saya untuk mendapatkan gelar doktor. Desertasi saya adalah mengenai sifat bawaan yaitu indigo,” katanya. Saat dokter Rizal mengemukakan hasil penelitian yang telah dilakukannya selama tiga tahun, tiba-tiba aku teringat pada Rina. +++ “Jadi bagaimana menurut dokter tentang pasien itu?” tanyaku saat aku berkonsultasi dengan dokter Rizal dua hari setelah kedatangannya. Dokter Rizal tampak tertarik dengan apa yang sedang kubicarakan. Dia mengangguk-angguk dan memintaku menemaninya visit keesokan harinya. Dengan senang hati aku menyetujuinya.Malam itu aku pulang sedikit terlambat sehingga terpaksa membangunkan mama yang telah terlelap. Seperti biasa aku langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur dan mengevaluasi beberapa kegiatan pada hari itu. Tak lama kemudian terlelap. “Bah! Diam kau, bocah! Aku bapakmu yang aseli.”“Bohong! Mama… mama..”“Diam atau kugorok lehermu dengan pisau ini! Sekarang diam!”“Lepas! Lepaskan!” Aku terbangun dari tidurku dengan nafas terengah-engah. Segera kucari segelas air dan meminumnya sampai tandas. +++ “Anda baru satu tahun menjadi dokter jiwa. Saya rasa Anda masih membutuhkan pengalaman lagi,” kata dokter Rizal saat kami sampai di ruang rawat Rina. Dokter Rizal membuka pintu dan berseru ramah, “Selamat pagi anak-anak!”Seketika itu pula Rina dan Tyas menjawab salam dokter Rizal dengan lantang. Satu hal yang sangat jarang terjadi padaku. Mereka langsung menghambur ke arah dokter Rizal dan satu persatu berebutan memeluknya.“Anak-anak, saya butuh bantuan kalian,” kata dokter Rizal. Semua anak langsung duduk di kursi yang telah disediakan. Hal kedua yang belum pernah terjadi padaku. Saat ditanya soal pribadipun tidak ada salah satu dari mereka yang berteriak histeris bahkan mengamuk.“Sekarang saya akan mengajak Tyas berjalan-jalan. Rina, ceritakan semuanya kepada dokter Mita,” kata dokter Rizal sambil menggandeng Tyas. Aku tertegun. Cerita? Cerita apa? Apa yang dimaksud oleh dokter Rizal? Batinku bingung. Tiba-tiba saja Rina telah menepuk punggungku. “Mau mendengar ceritaku, Bu Dokter?” tanyanya. Kontan aku mengangguk. Rina menggengnggam tanganku dan dengan sekali sentak aku dibuatnya tidak sadar... Keluargaku adalah keluarga yang bahagia. Papa adalah suami yang penuh tanggung jawab. Beliau adalah seorang pengusaha kayu jati yang memiliki lahan yang cukup luas. Mama adalah seorang ibu rumah tangga yang pandai mengurus keluarga. Aku sendiri adalah anak pertama. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Tyas. Kami hidup bahagia sampai suatu hari ada seorang laki-laki yang datang ke rumahku. “Ini Papa, Nak,” kata lelaki itu. Aku menggeleng keras-keras dan menolak ajakan lelaki itu untuk pergi dengannya.Pada suatu hari, laki-laki itu mendatangiku saat rumah sedang sepi. Papa dan mama sedang menghadiri acara penting di Solo. Tinggallah aku dan Tyas yang tinggal dirumah. Lelaki itu menggendongku dan Tyas dan membawaku bersamanya. Beruntunglah mama mengetahui hal itu. Beliau segera memacu mobilnya dan mengejar mobil yang membawa kami. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah kosong. Lelaki itu menyekapku dan Tyas di sebuah ruangan yang gelap dan pengap. Aku dan Tyas tidak kuasa melawan saat tubuh kami diikat. Tak berapa lama kemudian, terdengar ketukan di jendela yang ada tepat di atas kami. Aku dan Tyas berteriak sekuat tenaga, namun hasilnya nihil. Akhirnya kami menendang barang-barang yang ada di sekitar kami dan membuat mama mengetahui posisi dimana kami disekap.Kami hampir selamat ketika laki-laki itu masuk dan mendapati mama sedang melepaskan ikatan tali kami. Dia membawa sebilah golok di tangannya. Mama langsung merentangkan kedua tangannya dan berdiri dengan tegak di hadapan kami.Lelaki itu terus merangsek mama. Mama tersudut, mama terpojok. Saat lelaki itu akan menjangkau tubuh kami, tiba-tiba mama bangun dan memukul kepalanya. Darah langsung menetes dari kepala lelaki itu. Sebelum dia sadar, mama menghampiri kami dan berusaha membuka ikatan yang melilit tubuh kami.Namun tiba-tiba lelaki itu bangkit saat mama berhasil melepaskan ikatan kami. Dimintanya kami untuk segera pergi dari tempat tersebut. Kami hanya dapat menurut. Setelah meminta kami keluar, mama menahan lelaki itu agar tidak mengejar kami. Namun apa yang kami lihat? Lelaki itu dengan ganasnya menusuk perut mama! Aku menjerit dan berlari menolong mama, namun mama melarang. Beliau masih sempat memegangi kaki lelaki itu dan berteriak, “Ini permintaan mama yang terakhir, Nak. Lari! Lari dan cari pertolongan!”Aku dan Tyas berlari tidak tentu arah. Untunglah kami menemukan sebuah rumah yang terletak agak jauh dari tempat kami disekap… “Sudah Dok?”Aku tergagap mendengar pertanyaan itu. Saat kesadaranku kembali aku mendapati Rina sedang tersenyum penuh arti. Aku memandangnya kemudian segera membawanya keluar untuk memberitahu dokter Rizal.“Dok, Dokter…”Terengah-engah aku memanggil dokter Rizal yang tengah bermain dengan Tyas. Aku menghampirinya dan berkata dengan panik, “Kita harus menemui polisi dan menceritakan semua,” kataku. Dokter Rizal tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku menggandeng tangannya untuk menemui polisi. Tiba-tiba aku tersentak.“Dokter sudah tahu tentang semua ini?” tanyaku. Dokter Rizal mengusap dagunya. Aku memandangnya tidak percaya. “Kenapa Dokter tidak mengatakannya sebelumnya? Kenapa Dok?”“Ya, saya memang telah mengetahui semuanya,” jawab dokter Rizal. Dia merangkul Rina dan membiarkan anak itu berdiri di depannya. “Lalu bagaimana Anda dapat mengetahuinya? Em… maksud saya, bagaimana Anda dan Rina bisa mengetahui semuanya?” tanyaku penasaran. Dokter Rizal dan Rina yang mendengarnya tersenyum bersamaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar